Ketika Tony Abbott menjadi perdana menteri, dia segera menerapkan kebijakan “mengembalikan perahu”. Hal ini menghadapi peringatan bahwa praktik tersebut tidak hanya akan menyebabkan keretakan diplomatik yang besar antara Australia dan Indonesia, tetapi kemungkinan sangat nyata terjadinya konfrontasi di lingkungan.
Sejarah menunjukkan bahwa terlepas dari retorikanya, Indonesia menyerah dan menerima perahu yang dikirim kembali. Dengan demikian, bisnis penyelundupan orang runtuh, menggembar-gemborkan kemenangan signifikan bagi Abbott dan pemerintahan barunya, sementara membuat sekitar 14 ribu pengungsi dan pencari suaka terjebak, sebagian besar di Jawa.
Beberapa komentator konservatif percaya bahwa Scott Morrison harus mengadopsi model yang sama terhadap Indonesia dalam situasi saat ini mengenai masalah kedutaan Israel.
Intinya, ini berarti mengabaikan keluhan Indonesia tentang usulan pemerintah Australia untuk memindahkan kedutaannya dari Tel Aviv ke Yerusalem, dan penolakan Jakarta untuk memberikan persetujuan akhir pada kesepakatan perdagangan bilateral.
Tentu, akan ada jeritan dan lolongan dari Indonesia, bersama dengan Partai Buruh dan sebagian media. Tetapi dengan bermain keras—menurut pemikiran itu—Morrison pada akhirnya bisa “menang” dan memberikan reputasinya, sebagai negosiator tangguh yang membela Australia dalam masalah kedaulatan—sebuah dorongan yang sangat dibutuhkan.
Namun apakah pendekatan garis keras akan berhasil lagi?
Untuk menjawab pertanyaan ini, penting untuk memahami mengapa Indonesia tunduk kepada rencana Abbott dengan sangat lunak, meskipun ada ancaman dan kemarahan awal dari Jakarta.
Dalam beberapa hal, Australia beruntung. Penyelundupan perdagangan orang di Indonesia tidak menarik bagi kebanyakan orang di sana, dan jarang disebut-sebut di media harian.
Dan yang penting, presiden saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), mendekati akhir masa jabatannya dan secara luas dilihat sebagai kekecewaan yang signifikan di dalam negeri. Peringkatnya telah runtuh dan kegagalannya dalam hal ekonomi dan dalam melindungi kelompok-kelompok minoritas agama telah merusaknya selama bulan-bulan terakhirnya menjabat.
Satu aset SBY adalah dirinya sebagai negarawan internasional, di mana dia sangat disukai dan dikagumi. Hal terakhir yang dia butuhkan adalah konfrontasi besar dengan Australia ketika dia bersiap untuk meninggalkan jabatannya. Selain itu, SBY dan istrinya Ani menyukai Australia, meskipun agen-agen intelijen Australia memata-matai istrinya pada tahun 2013.
Namun yang terpenting—dan Indonesia telah menolak untuk mengakui hal ini—SBY tahu bahwa kebijakan Abbott tentang mengembalikan perahu, akan benar-benar menguntungkan Indonesia. Seperti yang saya tulis di The Australian pada Januari 2014, arus pencari suaka ke utara Australia terjadi sebagai akibat dari Indonesia menjadi titik transit utama, bukan tujuan. Jika Australia menghentikan kapal, maka pencari suaka akan berhenti bepergian ke Indonesia.
Abbott membaca isyarat itu dengan baik dan memperoleh kemenangan penting bagi Australia atas tetangganya di utara itu.
Dengan terpilihnya Joko Widodo sebagai presiden baru Indonesia, hubungan bilateral berubah secara signifikan. Jokowi—nama panggilannya—jauh lebih terfokus di dalam negeri, hanya memiliki sedikit pengetahuan, atau ketertarikan pada, Australia. Dia mengarahkan perhatian Indonesia ke utara ke negara ekonomi Asia yang sangat besar, dan juga ke Eropa, dan Amerika Utara. Bagaimanapun juga, Indonesia adalah negara dengan 265 juta penduduk dan memiliki ekonomi yang sama dengan Australia dan tumbuh cepat.
Hubungan dengan Australia memang memiliki sisi positifnya, dengan kerja sama tingkat tinggi dalam pertahanan, anti-terorisme, kepolisian, dan perusahaan-ke-perusahaan. Namun terlepas dari kehangatan itu, bagi sebagian besar penduduk Australia—terlepas dari liburan di Bali—Indonesia masih dilihat dengan tingkat sinisme, kecurigaan, dan ketidaktahuan yang tinggi.
Jadi, Morrison harus bergantung pada beberapa faktor untuk keluar dari bencana kedutaan, dengan kesepakatan perdagangan dengan Indonesia yang utuh.
Pertama, ia harus berharap tokoh-tokoh kunci dalam sistem politik Indonesia dapat memiliki pengaruh yang mendukung Australia. Menteri Perdagangan Indonesia, Enggartiasto Lukita, menginginkan perjanjian perdagangan Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Australia ditetapkan. Menteri Keuangan Indonesia, Sri Mulyani Indratwati—yang dulunya adalah Direktur Pelaksana Bank Dunia—dengan tegas menginginkan kesepakatan itu diselesaikan, seiring ia memerangi mata uang yang jatuh, neraca perdagangan negatif hampir US$2 miliar bulan lalu, dan kurangnya kepercayaan oleh investor di Indonesia. Mulyani dan Jokowi membutuhkan kesepakatan ini untuk menunjukkan bahwa Indonesia “terbuka untuk bisnis”.
Namun opini publik Indonesia juga akan menjadi masalah. Isu Kedutaan Besar Israel akan—tidak seperti kebijakan “putar balik” Abbott—menjadi berita yang lebih penting di Indonesia. Presiden dan sebagian besar penduduk Indonesia meletakkan isu Palestina sangat dekat di hati mereka.
Dengan pemilu yang akan datang pada tahun 2019—di mana Jokowi akan membutuhkan dukungan dari suara Islam garis kerasnya sendiri—jika ia dipaksa menentang Morrison untuk menunjukkan kekuatannya sebagai seorang pemimpin, ia akan dengan enggan, tetapi hampir pasti, melakukannya.
Dan untuk mendukung Morrison, saingan Jokowi dalam pemilihan presiden Prabowo Subianto—yang ingin menunjukkan rasionalitas yang mirip negarawan—telah menyatakan bahwa dia tidak akan menentang Australia yang memindahkan Kedutaan di Israel ke Yerusalem. Dia menyebut ini sebagai masalah kedaulatan Australia.
Morrison telah berjanji untuk membuat keputusan, apakah ia akan melanjutkan pemindahan Kedutaan Australia ke Yerusalem pada akhir tahun ini. Dia dapat memilih untuk menunda keputusan lebih lanjut dan berharap masalah ini memudar, tetapi itu telah merusak reputasi pribadinya di wilayah kami.
Sementara itu, terlepas dari hasil masalah ini, ini hanya akan memperkuat persepsi yang umumnya negatif terhadap Indonesia oleh mayoritas masyarakat Australia, pada saat Indonesia menjadi semakin penting.