Pemberontak di Provinsi Papua menuntut pada Jumat (7/12) agar pemerintah mengadakan negosiasi tentang penentuan nasib sendiri untuk provinsi tersebut, dan memperingatkan lebih banyak serangan.
Sebby Sambom—juru bicara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat, sayap militer Organisasi Papua Merdeka (OPM)—mengatakan dalam sebuah wawancara telepon, bahwa mereka menyerang sebuah situs konstruksi pemerintah akhir pekan lalu karena mereka yakin proyek itu dilakukan oleh militer.
“Proyek jalan Trans-Papua sedang dilakukan oleh militer Indonesia dan itu adalah risiko yang harus mereka tanggung,” kata Sambom. “Kami ingin mereka tahu bahwa kami tidak membutuhkan pembangunan, yang kami inginkan adalah kemerdekaan.”
Pemerintah Indonesia—yang selama beberapa dekade memiliki kebijakan mengirim orang Jawa dan orang Indonesia lainnya untuk menetap di Papua, untuk mencairkan jumlah penduduk asli—sekarang berusaha memacu pembangunan ekonomi untuk meredam gerakan separatis.
Media lokal melaporkan bahwa para insinyur militer terlibat dalam beberapa bagian dari jaringan jalan trans-Papua yang akan menghubungkan kota dan kabupaten di provinsi ini.
“Para pemimpin kami telah mendeklarasikan zona perang sejak tahun lalu dan memperingatkan bahwa pembangunan jalan trans-Papua harus dihentikan, tetapi Indonesia telah mengabaikannya,” kata Sambom.
Dia menyerukan agar pemerintah menyetujui perundingan damai yang serupa dengan perundingan yang membuat Provinsi Aceh menjadi semi-otonom, atau sebuah “referendum nyata” mengenai kemerdekaan seperti yang terjadi di wilayah Indonesia sebelumnya di Timor Timur.
“Jika Aceh dan Timor Timur bisa mendapatkan peluang itu, mengapa kami tidak?” kata Sambom, yang mengatakan bahwa dia berbicara dari daerah dekat perbatasan dengan Papua Nugini.

Papua adalah bekas jajahan Belanda di bagian barat Nugini. Deklarasi kemerdekaan dari pemerintahan Belanda pada 1 Desember 1961, ditolak oleh Belanda dan kemudian oleh Indonesia.
Sebuah pemberontakan telah melanda Papua sejak awal tahun 1960-an, ketika Indonesia mencaplok kawasan itu. Papua secara resmi dimasukkan ke Indonesia pada tahun 1969 setelah pemungutan suara yang disponsori oleh PBB yang dianggap sebagai tipuan oleh banyak orang.
Setelah serangan pada Minggu (2/12), pasukan keamanan telah mengumpulkan 16 jenazah pekerja dari PT. Istaka Karya—sebuah perusahaan konstruksi milik negara—untuk membangun jembatan di bagian jalan trans-Papua, kata juru bicara polisi Papua Suryadi Diaz.
Pihak berwenang yakin kelompok bersenjata itu menewaskan 19 pekerja konstruksi, berdasarkan laporan korban yang selamat. Mereka telah menyelamatkan 24 korban selamat, termasuk tujuh pekerja, dan sedang mencari dua pekerja yang hilang dan tiga jenazah lainnya.
Seorang tentara di pos militer dekat lokasi itu juga dibunuh oleh kelompok bersenjata itu.
Presiden Indonesia Joko “Jokowi” Widodo telah memerintahkan militer dan polisi untuk menangkap para pelaku serangan separatis terburuk selama pemerintahannya itu, dan mengatakan bahwa dia tidak akan mentoleransi “penjahat bersenjata” di Papua atau di seluruh negeri.
Dia mengatakan bahwa serangan itu tidak akan menghalangi pemerintahnya untuk terus mengembangkan Papua, termasuk jalan trans-Papua sepanjang 4.600 kilometer (2,875 mil), yang diklaim oleh pemerintahnya didukung secara luas oleh masyarakat setempat.
Jalan tersebut—yang akan membentang dari Sorong di Provinsi Papua Barat ke Merauke di Provinsi Papua—diharapkan akan selesai tahun depan dan membantu meningkatkan pembangunan ekonomi di kedua provinsi.
Kapolri Tito Karnavian pada Rabu (5/12) memperkirakan kekuatan kelompok bersenjata itu tidak lebih dari 50 orang dengan sekitar 20 senjata, dan mengatakan bahwa lebih dari 150 polisi dan tentara telah dikirim untuk memulihkan keamanan di distrik Nduga—sebuah kubu kelompok separatis.
Sambom, bagaimanapun, mengklaim bahwa para pemberontak memiliki 29 area komando operasional di Papua, masing-masing dengan 2.500 anggota.
“Kami berjanji akan mengintensifkan perjuangan kami untuk kemerdekaan dengan serangan gerilya,” katanya.