Paris Agreement atau Kesepakatan Paris merupakan kesepakatan internasional berbasis hukum untuk mengurangi emisi gas rumah kaca mulai 2020. Diikrarkan dalam Konferensi Perubahan Iklim di Paris, Prancis, yang dihadiri 195 negara, tahun 2015.
Dalam poin kesepakatan itu, negara-negara secara kolektif harus melaporkan kemajuan penurunan emisi karbon. Indonesia sebagai negara pemilik hutan tropis terbesar bersama Kolombia dan Brasil, berkomitmen mengurangi emisi karbon hingga 29% demi mencapai tujuan bersama pertemuan itu, yakni menghentikan suhu pemanasan bumi agar tidak melebihi 2 derajat Celsius.
Namun, dalam perjalanannya, Uni Eropa malah membuat kebijakan yang dipandang beberapa pihak diskriminatif. Uni Eropa mengklasifikasi produk kelapa sawit sebagai komoditas bahan bakar nabati yang tidak berkelanjutan dan berisiko tinggi/indirect land use change (ILUC) dan kini telah diadopsi dalam regulasi turunan (delegated act) dari kebijakan Renewable Energy Directive II (RED II).
Baca Juga: PNS Riau Diminta Sisihkan Gajinya agar Pegawai Honorer Dapat THR
Padahal, Indonesia telah berkembang menjadi produsen kelapa sawit paling penting di dunia, bahkan mengalahkan Malaysia. Dari 64 juta ton produksi sawit dunia, Indonesia menyumbang lebih dari setengahnya, yaitu 35 juta ton. Indonesia menyumbang 54 persen produksi minyak sawit dunia.
Kelapa sawit tidak hanya telah menjelma menjadi penyumbang paling penting devisa negara dari nilai ekspor yang terus meningkat, tetapi juga penggerak perekenomian, penyerap tenaga kerja, dan faktor pengentas kemiskinan di pedesaan. Kelapa sawit telah berkembang dari luas 300 ribu hektare pada 1980 menjadi 16,1 juta hektare, menurut data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), dengan produksi crude palm oil (CPO) sebesar 40 juta ton.
Dari data Gapki pula diketahui pangsa perkebunan rakyat terus meningkat, saat ini telah menjadi 52 persen dari seluruh luas kebun. Luas total perkebunan rakyat diyakini telah mencapai 9 juta hektare, bukan lagi 6 juta hektare sebagaimana sering diberitakan. Sementara itu, luas kebun kelapa sawit BUMN relatif sedikit, yakni hanya 515 hektare.
Keseluruhan kebun sawit tersebut telah mampu menyerap 4,2 juta tenaga kerja untuk sawit rakyat. Bila ditambah tenaga kerja tak langsung, secara keseluruhan 8,2 juta orang. Sawit juga menjadi sumber penghidupan bagi 1,5 juta keluarga petani kecil. Secara ekonomi, sawit telah berperan sebagai kontributor ekonomi utama wilayah di 31 kabupaten dan kota di Indonesia
Indonesia mengklaim, kelapa sawit didiskriminasi oleh Uni Eropa untuk melindungi pasar minyak-minyak Eropa, seperti bunga matahari dan rapeseed. Untuk itu, Indonesia mengatakan tengah bersiap untuk menantang Uni Eropa dan Aturan Enegi Terbarukan (RED II) mereka di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Pemerintah juga memeriksa hubungan mereka dengan negara anggota Uni Eropa yang mendukung aturan tadi.
Menteri Koordinator (Menko) Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan, mengatakan bahwa Indonesia serius dengan ancaman keluar dari Paris Agreement jika kampanye hitam terhadap CPO atau minyak kelapa sawit Indonesia masih dilakukan oleh Uni Eropa. Dia menegaskan, Indonesia sangat menghargai perjanjian-perjanjian internasional seperti Paris Agreement, tetapi kepentingan nasional tetap harus diutamakan.
Di lain pihak, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai pernyataan Menteri Luhut yang menyebutkan Indonesia mengancam akan keluar dari Kesepakatan Paris tidaklah tepat. Pernyataan tersebut sebagai retaliasi atau langkah perlawanan atas keluarnya delegated act Komisi Uni Eropa terkait diskriminasi kelapa sawit.
Menurut Manajer Kampanye Walhi, Yuyun Harmono, pernyataan semacam itu tidak boleh diucapkan sembarangan. Luhut seharusnya berdiskusi dan melakukan komunikasi internal sebelum mengeluarkan pernyataan tersebut. Seperti diketahui, keterlibatan Indonesia dalam Kesepakatan Paris merupakan komitmen Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam COP 21 UNFCCC bahwa Indonesia akan aktif terlibat dalam upaya menanggulangi perubahan iklim yang merupakan masalah global.
Selain bertentangan dengan komitmen Presiden Jokowi, pernyataan Menko Luhut tersebut dinilai melangkahi kewenangan DPR karena tidak atas persetujuan parlemen.
Punya Landasan Kuat
Ancaman Indonesia untuk keluar dari Kesepakatan Paris, setelah adanya kebijakan Uni Eropa terhadap produk kelapa sawit, tidak bisa dianggap salah sepenuhnya. Bagaimanapun, produk kelapa sawit Indonesia telah menjadi “pemain penting” bagi perekonomian nasional.
Pemerintah memiliki landasan kuat untuk menentang dan melawan kebijakan Uni Eropa dalam Kesepakatan Paris. Namun, keluar dari Kesepakatan Paris harus menjadi opsi terakhir. Yang utama adalah langkah Indonesia untuk menggugat aturan teknis (delegated regulations) Renewable Energy Directives II (RED II) Uni Eropa ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) guna memprotes kebijakan yang merugikan perekonomian nasional.
Baca Juga: Gubernur Anies Pastikan Jakarta Sudah Aman
Ancaman untuk benar-benar keluar dari Kesepakatan Paris harus dengan pertimbangan dan tukar pendapat dengan DPR, untuk menjaga elegansi demokrasi dalam negeri, pun menampung usul dan pendapat dari Walhi dan LSM lain, dengan catatan tidak mengesampingkan dampak terhadap perekonomian nasional. Bagaimanapun, Indonesia wajib turut serta aktif berpartisipasi terhadap isu-isu lingkungan global.
Namun, bila dalam perjalanannya Kesepakatan Paris “mengoyak” kepentingan nasional, mengikuti langkah Amerika Serikat dapat menjadi pertimbangan yang dirasa cukup rasional.