Indonesia menerapkan pemilu serentak yang menggabungkan antara pemilihan legislatif (pileg) dan pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres) sejak 2015. Diawali dengan pemilihan kepada daerah (pilkada) serentak gelombang pertama pada 9 Desember 2015, kemudian pada 2016.
Pilkada serentak ala Indonesia dianggap pertama kali di dunia, bahkan dalam desain pemilu nasional, pilkada serentak nasional dilaksanakan pada 2027 mendatang. Namun, pilkada serentak 2017 mengalami cobaan dengan adanya konflik kekerasan dalam pilkada di DKI Jakarta dalam bentuk politik identitas (agama dan etnis).
Sejak memasuki era reformasi dengan sistem politik demokrasi liberal, Indonesia terus memperbaiki sistem pemilu, tetapi juga banyak masalah yang mengitarinya. Pemilu adalah sarana untuk melaksanakan prinsip utama dari dan oleh untuk rakyat sebagai perwujudan dari kedaulatan rakyat yang dituntut oleh sistem pemerintah yang demokratis sesuai dengan prinsip-prinsip pemisahan kekuasaan (eksekutif, legilatif, yudikatif).
Secara futuristik, para perwira sekolah (Sespimen Polri dan Sesko tiga matra TNI) menulis dalam karya bersama mereka melalui penyelenggaraan pemilu 2019 yang aman dan berkualitas, diharapkan dapat melahirkan kepemimpinan nasional yakni Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR, DPD, dan DPRD. Mereka diharapkan mampu menjadi penyelenggara negara yang bisa mendorong pembangunan yang akseleratif dalam rangka pembangunan nasional di era globaliasi yang semakin kompetitif dengan mempertimbangkan posisi strategis Indonesia di tingkat global, regional, dan nasional yang menuntut sinergitas dan kebersamaan (Taskap PKB Juang, 2018).
Pada awalnya, yang dikhawatirkan dalam pemilu tahun ini adalah potensi tingginya masalah terkait politik identitas. Sebagaimana diketahui, identitas yang dimaksud adalah penggunaan identitas keagamaan, etnis, aliran, dan lainnya dalam kampanye politik. Kondisi itu diperparah oleh fakta tentang tingkat pendidikan dan kesadaran hukum yang masih pada level yang rendah.
Sebagai dasarnya, pada 2018 Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mengumumkan bahwa di delapan provinsi penyelenggara pilkada langsung secara serentak 2018 terindikasi terjadi politik identitas, yaitu Sumatra Utara, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat (NTB), Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Maluku, Maluku Utara, dan Papua (CSIS, 2018).
Isu politik identitas mewarnai isu kampanye legislatif dan pilpres. Suku-suku dan elite lokal saling bertarung tanpa mempertimbangkan nilai-nilai harmoni, kerukunan, dan tujuan nasional. Akibatnya, terjadi banyak pembelahan sosial, konflik politik, dan massa.
Kenyataannya, problem penyelenggara pemilu, yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU) beserta perangkatnya, bagian entri data yang dipersoalkan publik. Penggunaan aplikasi Situng (Sistem Informasi Perhitungan Suara) KPU dipersoalkan publik karena banyaknya entri data yang salah. Kritik publik telah direspon Ketua KPU, Arief Budiman, bahwa beberapa entri data KPU memang bermasalah. Sejumlah pihak mendorong penguatan akuntabilitas teknologi informasi (TI) KPU agar semua kesalahan dapat diperbaiki.
Langkah itu penting untuk menunjukkan kepada dunia bahwa penyelenggaraan pemilu 2019 berlangsung secara jurdil dan berkualitas. Pemilu 2019 menunjukkan tingginya partisipasi publik akibat massifnya penggunaan media sosial dan smartphone. Banyak anggota masyarakat melakukan kontrol lewat media komunikasi pintar mereka untuk membuktikan bahwa perhitungan suara di TPS dan wilayah mereka dapat diinput oleh Situng KPU sesuai data C1 di TPS di mana mereka memilih.
Analisis Hasil Pemilu 2019
Pemilu 2019 merupakan momentum penting bagi bangsa Indonesia ke depan. Secara umum pemilu 2019 dapat berjalan dengan aman dan damai. Peran TNI dan Polri dalam upaya pengamanan pemilu serentak pertama dalam sejarah Indonesia ini dapat berlangsung dengan baik karena sinergi yang dicanangkan sejak awal 2018 oleh Kapolri Jenderal Tito Karnavian dan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjadi.
Di tengah berjalannya kampanye nasional pemilu 2019 terdapat kritik masyarakat tentang peran Polri dan TNI yang dipandang kurang netral, sejumlah aparat keamanan diketahui melawan aturan yang ada seperti turut membagikan sembako, dugaan melakukan intimidasi, dan mendukung paslon tertentu. Oleh karena itu, Kapolri Tito Karnavian membuat keputusan dan edaran baru kepada seluruh jajaran Polri se-Indonesia agar Polri mengedepankan netralitas dalam totalitas tugas dan peran keamanan Polri dalam sisa rangkaian kampanye dan kegiatan pemilu 2019.
Pemilu 2019 sebagai pemilu serentak yang memakan biaya, energi, dan bahkan korban jiwa. Tim Relawan Informasi dan teknologi Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Mustofa Nahrawardaya, mengatakan bahwa pihaknya menemukan ribuan entri data dalam Situng KPU sebesar 12.550 kesalahan entri data, berdasarkan audit internal BPN terhadap 190.568 TPS. Meskipun demikian, temuan salah satu tim paslon pilpres itu harus diuji lebih lanjut sesuai mekanisme hukum kepemiluan yang berlalu.
Dalam konteks dugaan pelanggaran pemilu, penyelenggara pemilu 2019, yakni KPU, harus dapat mengatasi masalah kesalahan teknik agar tak sampai memicu konflik terbuka. Demonstrasi pada KPU dan Bawaslu perlu segera dijawab dan diselesaikan oleh kedua lembaga pelaksana pemilu 2019 itu untuk menghindari dampak pemilu pada stabilitas pertahanan dan keamanan nasional.
Pemilu sebagai media penegakan kedaulatan rakyat, perlu mengedepankan prinsip fairness dan kejujuran serta keterbukaan agar dapat menghasilkan pemimpin yang mendapat legitimasi tinggi di tengah perubahan dan kompetisi global dewasa ini. Apalagi posisi Indonesia sebagai negara penting di kawasan dan dunia memerlukan cara kerja kepemiluan yang sesuai standar global governance yang sarat dengan nilai-nilai demokrasi yang berlaku universal.
