Penghitungan suara pemilu 2019 versi Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mencapai lebih dari 80 persen. Pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin terus melaju tak terkejar dengan perbedaan suara mencapai belasan juta. Dengan kata lain, Jokowi berpotensi menang dan menjabat untuk kali kedua.
Namun, di tengah euforia, muncul kekhawatiran yang cukup menakutkan, datang dari anggota kabinet Jokowi. Adalah Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Thomas Lembong, yang mengeluarkan statemen potensi terjadinya kiamat ekonomi kecil bagi Indonesia melalui ledakan impor minyak dan gas. Tanpa tedeng aling-aling, Tom Lembong, begitu ia akrab dipanggil, menunjukkan bahwa Indonesia berpotensi menjadi importir gas pada 2021.
“Saya tidak bisa mulai memberi tahu Anda betapa dramatisnya implikasi neraca perdagangan, neraca pembayaran, dan akhirnya nilai tukar kami,” kata Lembong kepada wartawan asing pekan lalu di Jakarta. “Kami memiliki [waktu] tiga tahun untuk memperbaiki masalah, atau kita akan berada di dunia yang terluka.”
Kekhawatiran Tom Lembong tak berdiri sendiri. Ada latar belakang penting, terutama di sektor yang ia pimpin, yakni investasi. Isu hengkangnya Royal Dutch Shell dari proyek lapangan gas raksasa Blok Masela kian menyeruak, dan jadi bola panas.
Memang Shell hanya punya 35 persen saham, berbagi dengan Inpex Corporation dan Pertamina, tetapi hengkangnya perusahaan yang termasuk tujuh perusahaan minyak raksasa itu berpotensi memicu hengkangnya investasi lain di sektor energi nasional. Jika benar, itu akan menjadi pukulan serius bagi Presiden Jokowi di awal era pemerintahan keduanya.
Dalam sebuah artikel di Asian Times, lima hari lalu, dituliskan bahwa memang ada potensi Pertamina akan berduet dengan Inpex untuk mengelola Masela. Namun, hengkangnya Shell memberi stigma bahwa periode kedua Jokowi tidak akan lebih baik dari era awal mantan Wali Kota Solo itu.
Alasannya, tentu saja regulasi yang berbelit dan biaya politik yang tinggi. Dua penyakit kronis dunia investasi Indonesia yang sebenarnya terjadi sejak lama. Sementara itu, sumber yang diyakini dekat dengan Shell mengatakan kepada Asia Times bahwa mereka mengaku masih “penuh semangat” pada proyek tersebut.
Mana yang benar? Tak ada yang tahu secara pasti.
Banjir Pasokan, Konsumsi Tinggi
Hengkangnya Shell, jika benar, tentu tak lepas dari hitung-hitungan bisnis, terutama terkait dengan beberapa penemuan lapangan gas raksasa di Indonesia. Seperti yang terjadi pada Februari lalu, saat SKK Migas mengumumkan adanya penemuan gas di Indonesia, tepat di Blok Sakakemang, Sumatra Selatan, yang dioperasikan oleh konsorsium Repsol, Petronas, dan Mitsui Oil Exploration. Penemuan ini oleh Direktur Eksekutif WoodMackenzie, Andrew Harwood, diklaim bisa menjadi berita baik yang dibutuhkan Indonesia untuk memulai sektor eksplorasi.
“Sumur Kali Berau Dalam (KBD)-2x Repsol masuk kembali setelah masalah kontrol sumur pada akhir 2018. Sebelum pengeboran, prospek penemuan cadangan gas diperkirakan bertahan di area 1,5 tcf, atau di atas 250 juta barel setara minyak (BOE),” ujar Andrew, seperti dikutip dari keterangan resminya, Selasa (19/2/2019).
Tak hanya Blok Sakakemang, setidaknya terdapat beberapa proyek yang punya potensi cadangan gas yang luar biasa. Yang menarik, biaya pengembangannya juga tak semahal Masela yang mencapai US$ 16 miliar dengan potensi produksi sebesar 150 standar kaki kubik per hari (MMSCFD).
Pertama, proyek Train-3 Kilang Tangguh yang biaya pengembangannya US$ 8 miliar, dan diperkirakan mampu menghasilkan gas sebesar 700 MMSCFD. Kedua, proyek Jambaran-Tiung Biru diperkirakan menghasilkan gas sebesar 190 MMSCFD, dengan biaya pengembangan diestimasi US$ 1,55 miliar.
Ketiga, Blok Corridor. Mengacu data SKK Migas, selama semester 1/2018 produksi siap jual (lifting) gas bumi ConocoPhilips di Blok Corridor mencapai 841 juta MMSCFD dari target 810 juta, tetapi hingga akhir 2018 produksinya diprediksi 798 juta MMSCFD.
Kemudian ada lapangan Jangkrik yang dikelola ENI. Penemuan cadangan gas pertama terjadi pada 2009, 20 mm dari Sumur Jangkrik-1. Lapangan Jangkrik sudah beroperasi sejak Mei 2017 dan produksi 682 juta MMSCFD.
Seiring dengan penemuan-penemuan itu, data realisasi lifting migas hingga April 2019 menunjukkan angka kurang menggembirakan. Hanya mencapai 1,8 juta barel setara minyak per hari (MBOEPD) dengan rincian lifting minyak 749,6 ribu barel per hari (BOPD) dan lifting gas 5.909 juta MMSCFD. Jumlah ini mencapai 89% dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang sebesar 2 juta BOEPD.
Apakah Shell tak melihat ini? Tentu saja mereka punya datanya. Akan tetapi, data lifting tersebut takkan berarti apa-apa.
Kombinasi data lifting dengan data lain baru akan menghasilkan sesuatu yang menarik untuk dicermati para pelaku pasar industri migas tanah air. Kombinasinya dengan data proyeksi supply dan demand gas nasional hingga 10 tahun kedepan, menunjukkan Indonesia tetap menjadi tempat yang menarik.
Sebagaimana diketahui, Oktober 2018, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengeluarkan data mengenai skenario pemenuhan kebutuhan gas nasional. Dari ketiga skenario, dua di antaranya menunjukkan bahwa Indonesia akan mengalami peningkatan kebutuhan gas yang luar biasa mulai dari tahun 2025.
Rincian skenario tersebut adalah berikut:
Skenario I: Neraca gas nasional diproyeksi mengalami surplus gas pada 2018-2027 karena perhitungan proyeksi kebutuhan gas mengacu pada realisasi pemanfaatan gas bumi serta tidak diperpanjangnya kontrak ekspor gas pipa/LNG untuk jangka panjang.
Skenario II: Neraca gas nasional diproyeksi tetap surplus 2018-2024. Pada 2025-2027 potensi kebutuhan gas lebih besar daripada pasokan, tetapi belum mempertimbangkan adanya potensi pasokan gas dari penemuan cadangan baru dan kontrak gas di masa mendatang seperti Blok Masela dan East Natuna.
Skenario III: Neraca gas nasional diproyeksi surplus gas dari 2019-2024, sedangkan 2018 tetap mencukupi sesuai realisasi dan rencana tahun berjalan. Pada 2025-2027, sebagaimana skenario II, terdapat potensi kebutuhan gas lebih besar daripada pasokan, tetapi belum mempertimbangkan adanya potensi pasokan gas dari penemuan cadangan baru dan kontrak gas di masa mendatang seperti blok Masela dan East Natuna.
Berdasarkan skenario-skenario tersebut, wajar jika pelaku pasar menunjukkan keheranan, kenapa dengan pasar gas Indonesia yang masih begitu prospektif, muncul isu hengkangnya Shell dari Masela? Belum lagi harga jual gas Indonesia yang masih dibilang bagus.
Ambil contoh pembelian LNG Cina dari Cheniere Oil Amerika Serikat pada 2018. Transaksi mencapai US$ 426 juta untuk volume 93,6 BCF. Jumlah ini setara dengan US$ 4,53 per kaki kubik.
Harga jual gas Indonesia yang berasal dari kilang Tangguh yang di jual ke negara yang sama mencapai kurang dari US$ 7 per kaki kubik pada 2016. Dengan formulasi harga yang digunakan adalah 0,1050 x Japan Crude Cocktail (JCC) + 1,5 dan asumsi nilai JCC sebesar US$ 50/BBL, diperoleh LNG Tangguh yang diekspor ke Cina harganya kurang lebih US$ 6,75/MMbtu.
Mengherankan bukan jika memang benar Shell bersikeras untuk angkat kaki. Cuma karena, adanya banjir pasokan baru di pasar Indonesia. Jadi, wajar saja bila para pemerhati pasar menilik lebih dalam lagi. Ada apa gerangan?
Tak Hanya Masela
Rencana penjualan saham Shell di Blok Masela memang berpotensi memberi stigma negatif atas dunia investasi migas Indonesia, terutama ketika era kepemimpinan Jokowi begitu kental menampilkan semangat nasionalisme.
Namun, munculnya angka sebesar US$ 1 miliar juga menunjukkan bahwa Blok Masela adalah investasi yang cukup menggiurkan secara bisnis, tentu saja dengan syarat, pihak operator bisa menekan biaya birokrasi dan politik di Indonesia yang dikenal cukup tinggi.
Tak hanya itu, jika benar Shell berani mengeluarkan angka akuisisi sebesar US$ 1 miliar di tengah penemuan beberapa lapangan gas raksasa di Indonesia, semakin menunjukkan bahwa posisi Indonesia sebagai pusat pasokan energi Asia kini tengah menanjak. Apalagi, secara geografis posisi Indonesia dekat dengan para negara haus energi di benua ini seperti Cina, Jepang, dan Korea Selatan.
Posisi inilah yang seharusnya bisa dipertahankan dalam jangka waktu lama. Namun dengan satu syarat, yakni jika saja para investor bisa merasa nyaman dengan pemerintahan yang ada. Sayangnya, di tahun politik ini, kenyamanan itu begitu terganggu. Paling tidak itulah persepsi kuat yang kini muncul. Terutama dihantui oleh desakan hebat dari masyarakat bagi Presiden Jokowi. Untuk menunjukkan superioritas nasionalisme di hadapan pemilihnya.
Apakah hal itu yang menjadikan isu hengkangnya Shell menguat tajam? Hanya waktu yang bisa membuktikan.